Wednesday, November 12, 2014

Pentingnya Asesmen dalam Pembelajaran

Esensi mengajar dan mengases (sumber: http://www.assessment.uconn.edu/why/index.html )

Dewasa ini, tugas seorang guru tidak hanya mengajar (transfer of knowledge) dan mendidik (transfer of value) yang baik, namun guru juga harus terampil dalam hal mengases. Masalahnya adalah seringkali orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, asesmen, pengukuran (measurement), asesmen, dan tes. Padahal keempat hal ini memilik pengertian yang berbeda. Evaluasi merupakan kegiatan identifikasi untuk melihat ketercapaian/keberhargaan/keefektifan suatu program. Evaluasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan informasi dari hasil asesmen, pertimbangan dan keputusan nilai (value judgement). Makin banyak informasi yang kita ambil dari hasil asesmen, maka kita akan lebih fair dalam mengambil keputusan. Asesmen merupakan penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam perangkat/alat untuk memperoleh informasi proses dan hasil belajar. Hal krusial dalam mengases, diantaranya: 1) menekankan pada proses dan hasil belajar, 2) dilaksanakan selama pembelajaran, 3) berpihak pada yang diases untuk mengembangkan potensi, dan 4) terkait dengan pencapaian kurikulum. Pengukuran (measurement) lebih ditujukan untuk mendapat informasi secara kuantitatif mengenai karakteristik sesuatu/seseorang menggunakan lembar observasi atau skala penilaian dengan mengacu pada proses dan skor yang diperoleh.  Tes adalah salah satu perangkat/alat berisikan serangkaian pertanyaan standar/baku yang digunakan untuk menguji keberhasilan siswa dalam pembelajaran.

Hubungan antara evaluasi, asesmen, pengukuran, dan tes dapat ditunjukkan dalam diagram berikut:
Interelasi antara Evaluasi, Asesmen, Pengukuran, dan Tes


Makin besar irisan antara evaluasi dan asesmen menunjukkan bahwa data asesmen sudah dikenai judgement, sehingga data-data asesmen dapat digunakan sebagai hasil evaluasi.

Ketepatan prosedur dan kualitas alat ukur menentukan kualitas informasi yang diperoleh. Untuk itu kita perlu berhati-hati dalam menentukan, memilih, dan menyusun alat ukur untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang diperlukan dalam ranngka mengambil keputusan. Penggunaan perangkat tes memberikan cara baru dalam mengases dan mengevaluasi pemahaman ataupun penguasaan konsep siswa.

Dalam sebuah Koferensi Asosiasi Psikolog Amerika pada awal tahun 1950-an, Bloom dan kawan-kawannya mengemukakan evaluasi hasil belajar yang mengungkap bahwa kebanyakan butir-butir soal yang digunakan guru hanya meminta siswa untuk menggunakan kemampuan hafalan mereka (Utari, 2013). Akhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill, dan Krathwohl mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Bloom’s Taxonomy. Kerangka ini merupakan struktur hierarki yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang terendah hingga yang tertinggi. Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan dibagi dalam tiga domain utama, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Ranah kognitif mengurutkan kemampuan berpikir sesuai dengan tujuan yang diharapkan, diantaranya: (1) Pengetahuan (Knowledge), (2) Pemahaman (Comprehension), (3) Aplikasi (Application), (4) Analisis (Analysis), (5) Sintesis (Synthesis), dan (6) Evaluasi (Evaluation). Menurut Bloom, hafalan sebenarnya merupakan level terendah dalam hierarki kemampuan berpikir (thinking behaviors). Masih banyak level lain yang lebih tinggi yang dapat dicapai siswa dan kemampuan berpikir ini harus dapat diukur sejauh mana ketercapaiannya

Sepanjang tahun 1990-an, seorang murid Bloom, Lorin Andreson, dan beberapa para ahli psikologi alirasn kognitivisme berusaha memperbaiki taksonomi Bloom agar relevan dengan kebutuhan siswa dan guru pada abad 21 (21’st century skills). Taksonomi yang baru akan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat merepresentasikan psikologis kognisi, penelitian pendidikan, dan spesialisasi pengujian dan asesmen (Anderson & Krathwohl, 2001). Pada 2001 mereka menuntaskan rancangan mereka yang memuat beberapa perubahan signifikan. Diantaranya: (1) Perubahan terjadi pada perubahan kata kunci setiap level kognitif dari kata benda menjadi kata kerja, (2) Sintesis yang sebelumnya berada pada level 5  pada taksonomi Bloom lama dinaikkan menjadi level 6 dengan perubahan kata benda (noun) menjadi kata kerja (verb)à Mencipta, (3) Evaluasi yang sebelumnya berada pada level 6 pada taksonomi Bloom lama diturunkan menjadi level 5 dengan perubahan kata benda (noun) menjadi kata kerja (verb) Mengevaluasi.

Perubahan terminilogi taksonomi

Umumnya rumusan tujuan pembelajaran dan asesmen hanya menekankan satu jenis proses kognitif saja, yaitu mengingat. Dimana proses kognitif ini merupakan level terendah dari proses kognitif yang ada (Anderson & Krathwohl, 2001). Dari titik ini disadari pentingnya interelasi yang kuat antara rumusan tujuan, aktivitas dan asesmen pembelajaran demi terwujudnya pembelajaran yang bermakna. Mempertegas kekompleksitasan tugas seorang guru yang tidak hanya bertugas seorang sebagai pendidik dan pengajar namun juga harus dapat menjadi seorang asesor yang baik. Keterampilan membuat perangkat tes konsep yang sesuai dengan rumusan tujuan, aktivitas, dan asesmen pembelajaran akan diikuti dengan keefektifitasan pengajaran guru (teacher’s instructional effectiveness).


Sumber:
  1. Anderson, W., L. Krathwohl (Editor),  (2010). Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran,Pengajaran, dan  Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
  2. Rustaman, N. Y.  (2009). Evaluation in Science Education (bahan ajar).  Bandung: tidak diterbitkan, dipakai dalam lingkungan UPI.
  3. UCONN. (tanpa tahun). Why Assesment?. [Online]. Tersedia:  http://www.assessment.uconn.edu/why/index.html (diakses pada tanggal 23 April 2014, pukul: 20.19 WIB).
  4. Utari, R. (2013). TAKSONOMI BLOOM: Apa dan Bagaimana Menggunakannya?. [Online]. Tersedia:http://www.bppk.depkeu.go.id/webpkn/index.php?option=com_content&view=article&id=766%3Ataksonomi-bloom-apa-dan-bagaimana-menggunakannya&catid=116%3Aisi-artikel&Itemid=1 (diakses pada tanggal 23 April 2014, pukul: 20.53 WIB).


No comments:

Post a Comment